Pemantauan Seismik
KODE : L1.SS.C10
Ilustrasi :
Seismik adalah metode pemantauan instrumentasi tertua yang diterapkan di Merapi sejak 1924 dan telah berkembang pesat sejak awal tahun 1990. Peningkatan aktivitas kegempaan umumnya akan meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas vulkanik. Perubahan frekuensi, manitude, tipe dan jumlah gempa biasa digunakan untuk menentukan tingkat bahaya dan meramalkan letusan.
Guncangan tanah yang terjadi karena gempa direkam oleh seismometer kemudian dikonversi ke dalam sinyal radio yang ditranmisikan ke stasiun penerima di Pos Pengamatan Gunungapi Merapi dan BPPTK Yogyakarta 24 jam sehari terus menerus. Data akan direkam pada kertas seismograf yang berguna untuk memberikan kenampakan secara langsung seismisitas yang terjadi. Data lain dalam bentuk digital yang kemudian diklasifikasikan secara otomatis oleh komputer.
A Seismic is the oldest instrumental monitoring method at Merapi volcano since 1924 even though it has been developed since the early 1990s. Increasing magmatic activities beneath the voclano is normally correlated to increasing volcanic activity. Changing frequency, magnitude, type and number of volcanic earthquake may be indicated for predicting volcanic eruptions.
Ground shaking due to earthquake is recorded by seismometer and converted into radio signal that continuously transmitted 24 hours to receiver stations at volcano observatory around Merapi and BPPTK Headquarter in Yogyakarta. An analog and a digital data will be converted into seismograph paper and computer, respectively, indicating the seismicity condition.
GELOMBANG SEISMIK, APAKAH ITU ?

Gelombang seismik adalah rambatan energi yang disebabkan karena adanya gangguan di dalam kerak bumi, misalnya adanya patahan atau adanya ledakan. Energi ini akan merambat ke seluruh bagian bumi dan dapat terekam oleh seismometer.
Efek yang ditimbulkan oleh adanya gelombang seismik dari gangguan alami (seperti: pergerakan lempeng (tektonik), bergeraknya patahan, aktivitas gunung api (vulkanik), dsb) adalah apa yang kita kenal sebagai fenomena gempa bumi.
GELOMBANG SEISMIK
Gelombang badan atau body wave adalah gelombang yang merambat melalui bagian dalam bumi. Gelombang badan merupakan gelombang yang tiba sebelum gelombang permukaan yang dipancarkan oleh gempa bumi. Gelombang ini memiliki frekuensi yang lebih tinggi daripada gelombang permukaan. Gelombang badan dibedakan menjadi dua, yaitu gelombang primer (P-wave) dan gelombang sekunder (S-wave). Gelombang primer merupakan gelombang longitudinal, di mana arah pergerakan partikel akan searah dengan arah rambat gelombang. Sedangkan gelombang S merupakan gelombang transversal, di mana arah pergerakan pertikel akan tegak lurus dengan arah rambat gelombang.
GELOMBANG PERMUKAAN
Gelombang permukaan merupakan gelombang yang merambat hanya melalui kerak bumi. Gelombang ini memiliki frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan gelombang badan. Gelombang permukaan dibedakan menjadi dua, yaitu: gelombang Love dan gelombang Reyleigh. Gelombang Love adalah gelombang geser (S wave) yang terpolarisasi secara horizontal dan tidak menghasilkan perpindahan vertikal. Gelombang Love terbentuk karena interferensi konstruktif dari pantulan-pantulan gelombang seismik pada permukaan bebas. Sedangkan Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang lintasan gerak partikelnya menyerupai elips. Dihasilkan oleh gelombang datang P dan gelombang S yang berinteraksi pada permukaan bebas dan merambat sejajar dengan permukaan tersebut. Gelombang Love lebih cepat daripada gelombang Rayleigh dan lebih dahulu sampai pada seismograf.
PEMANTAUAN SEISMIK MERAPI
Pemantauan seismik G. Merapi dimulai pada tahun 1924 dengan adanya seismograf mekanik Wiechert yang dipasang di lereng Barat sekitar 9 km dari puncak untuk mengetahui peningkatan aktivitas menjelang erupsi Nopember 1930 (Van Padang, 1930). Seismograf elektromagnetik mulai digunakan pada tahun 1969 yaitu menggunakan seismograf Hosaka yang menggunakan kabel agar dapat diletakkan di tempat-tempat yang lebih representatif.
Pada tahun 1982 terbentuk sebuah jaringan seismograf yang mengelilingi tubuh gunung yang terdiri atas 7 stasiun sensor periode pendek. Karena pertimbangan efisiensi dan kerawanan, jaringan direduksi sehingga saat ini hanya ada 4 stasiun yaitu Pusunglondon, Klatakan, Plawangan dan Deles. Sensor yang digunakan adalah produk dari Mark tipe L4C dengan faktor redam 0.8 dan konstanta tranduksi 50 mV/mm/s. Stasiun sensor menggunakan daya batere dengan pengisian solar panel. Sinyal dikirim ke stasiun penerima di Kantor BPPTK Jogjakarta (25 km dari G. Merapi) dengan telemetri radio VHF. Di stasiun penerima sinyal ini kemudian direkam pada kertas seismogram rekorder VR-68 produk Sprengnether, dan juga disimpan dalam data digital menggunakan digitizer Guralp DM24 dengan laju cuplik 100 Hz. Seismogram kertas dianalisa secara rutin setiap harinya untuk mengetahui jumlah kegempaan, dan parameter-parameter gempanya sedangkan lokasi gempa dihitung dengan menggunakan sinyal digital untuk kemudahan pembacaan waktu.

Disamping 4 stasiun tersebut, juga terdapat tiga stasiun seismik dengan sistem Telemetri digital yang terletak di Juranggrawah, Pasar Bubar dan Labuhan. Di stasiun Labuhan digunakan seismometer Broadband merk Streckeisen tipe STS2, sedangkan dua lainnya digunakan seismometer periode pendek produk Mark tipe L43D. Akuisisi dan layout data seismik digital serta kuantifikasi sinyal gempa seperti RSAM dan SSAM menggunakan sistem Earthworm dan Swarm.
Klasifikasi Gempa
Klasifikasi gempa vulkanis G. Merapi pertama kali diusulkan oleh Shimozoru pada tahun 1969 berdasarkan observasi data gempa dari dua stasiun di lereng Selatan dan Utara selama tiga bulan selesai pada September 1968. Dari observasi ini diperoleh lima jenis gempa yang dibedakan berdasarkan bentuk dan frekuensi, tipe gempa berdsarkan klasifikasi Shimozuru (1969) disajikan pada tabel berikut.

Berdasarkan data sinyal gempa dari jaringan stasiun seismik telemetri yang dipasang pada tahun 1982 yang diikuti dengan kejadian erupsi pada Juni 1984, diusulkan klasifikasi baru yang sampai sekarang masih digunakan dalam penentuan aktivitas G. Merapi. Berikut adalah rangkuman Ratdomopurbo (1995) tentang tipe-tipe gempa vulkanis G. Merapi, dan contoh bentuk gelombangnya dalam seismogram digital.


Lokasi Sumber Gempa
MP dan LF merupakan gempa dangkal. LF mempunyai frekuensi dominan yang sama di semua stasiun sekitar 1,5 Hz. Amplitudo di stasiun PUS tampak jauh lebih besar dari stasiun yang lain yang terletak lebih jauh terhadap puncak. Hal ini menandakan bahwa LF bersumber sangat dangkal dari permukaan puncak. MP terkait dengan pertumbuhan kubah lava. Untuk amplitudo yang sama, gempa MP memiliki durasi yang lebih panjang sekitar dua kali terhadap gempa VT. Frekuensi dominannya antara 3 – 4 Hz dan amplitudonya sangat teratenuasi sebagai fungsi jarak stasiun terhadap puncak. Pengecilan amplitudo yang sangat cepat terhadap jarak dari puncak merupakan bukti bahwa gempa MP bersumber di sekitar puncak (Hidayat dkk, 2000). Onset yang sangat landai menjadikan gempa MP sulit untuk ditentukan waktu tiba dan dihitung hiposenternya.
Penghitungan hiposenter dilakukan pada gempa VTA dan VTB dengan pembacaan waktu tiba gelombang P dan S pada seismogram digital. Metode komputasi penghitungan dengan optimisasi simplek (Nelder dan Mead, 1965; Prugger dan Gendzwill, 1988). Diasumsikan medium bersifat homogen isotropis dengan kecepatan gelombang P 3 km/s dan rasio Vp/Vs sebesar 1,86. Seperti yang tampak pada gambar di atas, terdapat dua grup gempa VT yang terpisah terhadap kedalaman. Gempa-gempa yang muncul pada kedalaman 0-1,5 km dinamakan gempa vulkanik dangkal (VTB), sedangkan gempa-gempa yang muncul pada kedalaman 2,5-5 km merupakan gempa vulkanik dalam (VTA).
Model Kantong Magma G. Merapi
Di antara dua zona gempa VTA dan VTB diperkirakan sebagai zona aseismik. Tidal terdapatnya gempa di lokasi ini mengarahkan kepada dugaan keberadaa material yang lebih lunak di antara zona material yang keras. Untuk material yang serupa sifat yang lebih lunak ini berimplikasi suhu yang lebih tinggi. Zona aseismik ini kemudian diinterpretasikan sebagai sebuah kantong magma (Ratdomopurbo, 1991). Hipotesa ini didukung dengan fakta bahwa temperatur di sekitar puncak yakni di plataran Woro dan Gendol bisa mencapai 830 °C yang berarti terdapat sumber panas yang cukup dangkal. Secara geologi Van Bemmelen menunjukkan adanya sesar tektonik di bawah G. Merapi yaitu sesar Kukusan. Diperkirakan kantong magma ini muncul akibat adanya sesar dasar ini dimana magma dapat terkumpul di atasnya. Diperkirakan kantong magma ini berperan sebagai sebuah katup yang memperlambat migrasi magma ke atas dari dapur magma, karenanya kekuatan letusan erupsinya menjadi berkurang (Ratdomopurbo, 2000).
Tidak terdapatnya gempa di bawah kedalaman 5 km menguatkan dugaan adanya dapur magma di sekitar kedalaman 8 km yang diusulkan oleh Beaducel (1998) berdasarkan modeling data Tiltmeter dan GPS. Gambar 3 memperlihatkan sistem suplai magma G. Merapi berdasarkan adanya zona aseismik yang tampak pada data hiposenter.
Mekanisme Gempa G. Merapi
Gempa VTA terkait dengan migrasi magma ke atas dari dapur magma ke kantong magma. Peningkatan tekanan di kantong magma dapat memicu munculnya gempa VTB sehingga gempa VTA dan VTB bisa muncul relatif dalam interval waktu yang sama. Akan tetapi, laju kejadian gempa VTB selalu lebih banyak dari pada VTA; hal ini karena fragmentasi yang lebih kuat di bagian atas tubuh gunung. Mekanisme sumber gempa VTA didominasi oleh sesar turun yang kemungkinan berasal dari regangan horizontal akibat desakan magma dari dapur magma. Gempa VTB yang lebih dalam sebagian besar mempunyai mekanisme sesar turun akibat desakan magma dari kantong magma yang menimbulkan regangan horizontal batuan di atasnya. Adapun gempa VTB yang dekat permukaan, diantaranya mempunyai mekanisme sesar turun yang akan menuju permukaan dan sebagian yang lain mempunyai mekanisme sesar naik yang diperkirakan berasal dari lepasnya tekanan akibat keluarnya magma atau gas ke permukaan (Hidayati, 2001).
Gempa MP yang terjadi dikaitkan dengan proses pertumbuhan kubah lava. Seperti catatan Hidayat, dkk (2000), hal ini serupa dengan yang ada di G. Redoubt (Power dkk, 1994) dan G. Soufriere Hill (Miller dkk, 1998). Model mekanisme sumber gempa MP belum ada secara detail. Salah satu hipotesa adalah mekanisme pergerakan magma ‘stick and slip’ secara episodik dengan anggapan adanya kekuatan geser dalam magma dengan kekentalan yang sangat tinggi. Model mekanisme sumber ini serupa dengan yang diusulkan oleh Goto (1999) pada G. Unzen.
Gempa guguran yang mempunyai ciri durasi yang sangat panjang dan berfrekuensi cukup tinggi (1-20 Hz) terkait dengan runtuhnya bebatuan atau lava akibat pengaruh gravitasi. Gempa LF diduga berasal dari sumber volumetric akibat aktivitas aliran fluida dari interaksi multifase seperti magma dengan gas atau air tanah (Brotopuspito, 1990). Gempa LF dengan durasi yang lebih panjang atau gabungan beberapa gempa LF membentuk tipe gempa tersendiri yaitu tremor.
Di samping tipe-tipe gempa yang teramati di stasiun-stasiun seismik permanen seperti tersebut di atas, dengan menggunakan sensor Broadband teridentifikasi gempa dengan frekuensi sangat rendah (Very Long Periode/VLP) sekitar 0,25 Hz mengiringi gempa MP dan LF. Gempa ini nampak pada rekaman seismometer Broadband Guralp CMG-40T yang dipasang di sekiar puncak dari tanggal 16 Januari sampai dengan 23 Februari 1998 (Hidayat dkk, 2000). Diinterpretasikan gempa ini mencerminkan kembang kempis tubuh G. Merapi akibat desakan gas atau magma.

SOURCE : vsi.esdm.go.id