EVOLUSI ERUPSI
Kronologi Hartman
Bagaimana kronologi suatu aktivitas letusan Merapi telah disimpulkan oleh Hartman (1935). Tiap letusan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase awal atau keadaan sebelum meletus, fase utama yaitu aktivitas utama dan fase akhir yaitu kegiatan yang terjadi sesudah letusan berakhir. Ketiga fase tersebut merupakan atau dianggap sebagai satu siklus aktivitas letusan Merapi. Berdasarkan apa yang terjadi pada fase awal, utama dan akhir, Hartman membedakan kronologi letusan menjadi empat sebagai berikut :
Kronologi A : Siklus diawali dengan satu letusan kecil yang mengawali ekstrusi lava. Fase utama berupa pembentukan kubah lava sampai kubah mencapai volume besar dan kemudian perkumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri dengan proses guguran lava pijar yang berasal dari kubah. Kejadian guguran lava pijar, kadang dengan awanpanas kecil, dapat berlangsung lama (bulanan).
Kronologi B: Dalam kronologi B ini, pada awalnya telah ada kubah lava di puncak Merapi. Fase utama berupa letusan vulkanian bersumber di kubah lava dan menghancurkan kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan vulkanian (contoh: asap cendawan letusan 1997). Material kubah yang hancur sebagian menjadi awanpanas yang menyertai letusan vulkanian tersebut. Fase akhir diisi dengan pertumbuhan lava baru pada bagian kubah yang hancur atau disamping kubah.
Kronologi C: mirip dengan kronologi B, hanya saja pada awalnya tidak terdapat kubah lava tetapi sumbat lava yang menutup kawah Merapi. Oleh adanya sumbat lava tersebut, fase utama berupa letusan vulkanian dengan awanpanas lebih besar (type St. Vincent ?). Fase akhir dari kronologi letusan yaitu berupa pembentukan kubah lava baru.
Kronologi D:Fase awal berupa letusan vertikal kecil. Fase utama berupa pembentukan sumbat lava yang kemudian diikuti dengan fase akhir berupa letusan vertikal yang cukup signifikan. Pada letusan “D” ini, karena sumbat lava cukup besar, letusan cukup dahsyat, relatif untuk Merapi, yang menghasilkan awanpanas besar dan asap letusan tinggi.
Dalam kenyataan, terutama dari pemantauan aktivitas letusan dengan lebih seksama sejak tahun 1984, batas-batas antara jenis kronologi letusan sebagaimana yang disajikan Hartman di atas sering tidak jelas. Sebagai contoh, letusan 1984 fase awal berupa kejadian awanpanas yang kemudian langsung disusul dengan letusan. Pada fase akhir terjadi guguran lava pijar. Contoh letusan 1984 ini menjadi gabungan dari kronologi A dan B. Kejadian longsoran kubah yang terjadi pada tahun 1994 sulitjuga dimasukkan dalam kronologi Hartman walaupun longsoran juga menghasilkan awanpanas dan letusan.

Kronologi Hartman paling tidak memberikan gambaran pada pentingnya peranan kubah lava dalam setiap aktivitas Merapi. Dan dari penelitian geologi diperoleh hasil bahwa pada perioda Merapi Baru, terutama dalam 600 tahun terakhir, aktivitas Merapi didominasi oleh pembentukan kubah lava dan letusan-letusan kecil yang tidak lebih dari VEI 3 yang disertai awanpanas. Produk dari kejadian letusan-letusan tersebut, bila diltinjau dari pembagian kelompok endapan (Andreastuti, 1999), maka endapan yang terbentuk dapat digolongkan dalam kelompok 1, dan menghasilkan lava, awanpanas atau surge; dan kelompok 2 yang terutama terdiri dari asosiasi endapan awanpanas dan surge.
Endapan hasil letusan yang sekarang meskipun cukup tebal (mencapai 8m), namun karena merupakan endapan awanpanas yang sebarannya di lembah-lembah, maka letusanya relatif kecil. Sedangkan letusan pra-1800, karena hasilnya berupa endapan jatuhan yang ketebalannya dan merata di sekitar gunung, maka letusannya lebih besar. Letusan yang menghasilkan awanpanas tekanan internal dari magma lebih kecil daripada letusan yang menghasilkan endapan jatuhan.
Studi stratigrafi (Andreastuti,1999) yang dilakukan pada tephra Merapi telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang aktivitas letusan Merapi. Letusan yang tercatat dalam sejarah, pada umumnya hanya berupa letusan kecil yang terpusat di puncak. Awanpanas dari bongkaran kubah menjadi ciri utama aktivitas Merapi saat ini. Namun demikian dalam jangka yang lebih panjang analisa stratigrafi menunjukkan bahwa Merapi juga menghasilkan letusan-letusan yang besar. Andreastuti (1999) membagi kurun waktu aktivitas Merapi menjadi 3 episode yaitu Episode I (2990-1960 BP), Episode II (1960-780 BP) dan Episode III (780 BP sekarang). Letusan Merapi saat itu digolongkan dalam type plinian (sangat explosif).
Dari indentifikasi ditemukan bahwa dalam kurun waktu 3000 tahun terakhir terdapat sejumlah 7 letusan skala besar (skala VEI 4, plinian dan subplinian). Sebagai ilustrasi seberapa besar letusan tersebut, misalnya pada letusan yang menghasilkan tephra di Selokopo, sekitar 500 BP, terjadi letusan dengan kolom asap letusan yang diperkirakan setinggi 15 kilometer di atas puncak dan dengan volume material yang diletuskan sebesar 0.26 km3 (260 juta m3, bandingkan dengan produk letusan 1998 yang hanya 8 juta m3).
Dalam jangka panjang perubahan trend letusan Merapi dimungkinkan oleh adanya perubahan komposisi kimia magmanya.
Pada Episode I, magma Merapi mempunyai komposisi medium-K (1.3-2.0%), sedangkan pada Episode Ill mempunyai komposisi high-K (2.0 – 2.5 %). Episode II merupakan episode transisi dari medium-K ke high-K. Dari kandungan Si02 nya, walaupun terdapat fluktuasi komposisi Si02 antara 51 % sampai 57 %, terdapat kecenderungan jangka panjang bahwa komposisi Si02 semakin besar. Kemungkinan letusan Merapi yang lebih besar dapat terjadi oleh adanya perubahan kandungan air (H20) dalam magma dan proses kristalisasi yang terjadi di dapur magma (del Marmol, 1989). Proses kristalisasi dan kandungan air yang tinggi menghasilkan unsur volatile yang merupakan sumber dari peningkatan tekanan dalam magma.